Friday, June 25, 2010

Berhenti Sejenak Lalu Mundur




Pada post yang lalu saya nulis tentang semester lalu yang penuh dinamika. *riuh rendah penonton bersorak. Wiii.. Betul deh sangat terasa naik-turunnya hidup di semester itu. Dan ada satu matakuliah yang bikin kuliah sangat sangat hidup. Seminar PIO. Kuliah ini berasa hidup karena dosennya yang sangat berdedikasi menurut saya. Enggak cuma ilmu dan teori melulu, tapi beliau membuka mata kita mahasiswanya untuk melihat bahwa di kehidupan itu kita harus realistis, enggak modal teori aja. Kita harus fleksibel menerapkan ilmu kita. Kemudian beliau mengucapkan beberapa hal yang membuat saya merenung beberapa saat selama kuliah, bahkan setelah pulang, dan sampai saat ini. Kurang lebih beliau menyampaikan ini:

Begitu kita diterima kerja, di HRD khususnya, kadang kita tidak bisa langsung melangkah maju-maju-dan maju, untuk melakukan perubahan di awal. Terkadang kita harus berdiri di satu titik statis untuk melakukan tugas yang ada. Atau kita harus mundur satu langkah, bahkan beberapa langkah ke belakang, untuk menyelesaikan dan memperbaiki hal-hal yang ditinggalkan orang-orang sebelumnya. Begitu pula di hidup ini."

Deg. Sampai kata-kata ”begitu pula di hidup ini”, saya langsung merenung. Pertama, hebat Bu Ary (dosen saya) ini, beliau betul-betul bisa lho mengkaitkan falsafah hidup dengan teori dan praktek PIO. Di beberapa materi kuliah juga gitu. Salut banget. Kedua, bener banget. Di kerjaan nanti, apapun bidangnya, dan terutama di hidup ini kita enggak selamanya bisa terus melangkah maju dan maju. Kadang, di suatu waktu dan titik tertentu kita harus berhenti, sejenak. Untuk melihat ke belakang apa yang telah kita lakukan, atau melihat ke depan tentang apa yang bisa dan akan kita lakukan. Dan di waktu lain kita harus mundur untuk memperbaiki kesalahan atau menyelesaikan persoalan yang belum selesai.

Nah. Setelah saya pikir lagi, menurut saya “langkah mundur” itu sendiri adalah batu pijakan yang paling nyaman untuk melenting jauh ke depan, bukan hanya selangkah. Karena dengan mundur untuk memperbaiki dan menyelesaikan masalah, artinya kita sudah mengoreksi diri. Menurut saya itu sebuah kesediaan yang hebat. Apalagi hingga merasa perlu untuk memperbaiki. Dengan memperbaiki diri, kita menyediakan diri untuk mengurangi dan menambah sikap serta sifat.



Itulah yang saya lakukan akhir-akhir ini. Sejak tiga hari yang lalu sampai kemarin, saya tidak ada rutinitas yang berarti (produktif) karena libur kuliah. Cuma rutinitas rumah biasa. Kemudian menatap layar kotak bersinar di depan saya yaitu monitor komputer untuk berselancar di dunia maya, membaca dan menulis beberapa hal yang saya rasa tidak produktif. Secara teknis produktif karena saya menulis, tapi hanya hal-hal kecil jadi saya anggap kurang.

Jadi saya memutuskan melihat apa yang telah saya lakukan di waktu sebelumnya. Enam bulan sebelumnya, ya semester yang baru saja berlalu. Hingga saya menyadari betapa kerennya enam bulan kemarin. Hingga saya buat blog post tentangnya. Lalu saya melihat agak jauh ke belakang lagi. Tepatnya semasa saya SMA. Saya suka dan sering menulis. Banyak hal. Jadi saya memutuskan membuka jurnal kecil saya. Sangat kecil karena bentuknya dan jumlah tulisannya. Dan menemukan potongan tulisan masih berhubungan dengan “mundur” :D


241206 – 20.25
Haruskah ak mundur perlahan
Agar tiada yang tahu apa yang bisa tampak dariku itu
Atau aku mesti terdiam
Agar semua tampak adanya
Haruskah aku maju tanpa getar
Menghadapi getir


Dan inilah yang saya dapat setelah mundur sehingga menemukan tulisan itu. Saya jadi sadar, kapanpun manusia pasti merasa perlu untuk berhenti atau mundur sejenak. Setidaknya terbukti dulu waktu saya SMA saya nulis itu. Hmm. Subjektif memang. Lalu apa jadinya jika saya tidak mundur dan membuka jurnal kecil saya. Saya tidak akan mengalami ini.

Saya menyadari (lagi) bahwa saya sangat suka membaca dan menulis. Bukan pelajaran anak SD lho ya. Tapi menulis untuk mengungkapkan pikiran. Dan saya juga baru sadar. Saya hampir tidak pernah dengan sengaja membagikan tulisan-tulisan saya untuk orang lain. Jika teman-teman membacanya itu karena rasa penasaran mereka melihat kertas-kertas penuh huruf jelek saya yang saya bawa-bawa. Dan disinilah saya sekarang. Menyadarinya lagi untuk kesekian kali. Bahwa saya harus terus menulis, dan mulai membagikannya pada orang lain.

Semua itu saya sadari karena saya berhenti sejenak dan mundur..

2 comments:

mydestination said...

pagi-pagi baca ini langsung bikin saya "mak deg". :-D nice post.!!!!

me said...

kenapa "mak-deg" mbak destination?